TNKS di Ujung Tanduk: Ketika Hutan Muratara Menangis di Tengah Sunyi

Muratara – Info Daerah.
Di balik hamparan hijau Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang membentang megah di empat provinsi Sumatera, tersimpan kisah pilu dari jantung Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara). Suara gergaji mesin kini terdengar lebih nyaring dari kicau burung, dan aroma kayu basah menandakan satu hal: hutan kita sedang sekarat.

Hutan TNKS — yang sejak 2004 ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO — kini menghadapi ancaman serius. Di wilayah Ulu Rawas dan Karang Jaya, pepohonan yang dulu berdiri tegak bak penjaga peradaban, kini tumbang satu per satu akibat pembalakan liar yang diduga melibatkan oknum aparat.

“Menjaga lingkungan Ulu Rawas dan Karang Jaya bukan hanya menjaga TNKS, tapi juga melestarikan jejak peradaban manusia di Sumatera,” tutur Wawan, seorang tokoh pemuda Muratara, dengan nada getir, Jumat (10/10/2025) di Muara Rupit.

Baginya, hutan bukan sekadar kumpulan pohon. Ia adalah ruang hidup — sumber air, udara, dan kehidupan yang diwariskan dari leluhur untuk anak cucu nanti.

Namun kini, kata Wawan, warisan itu sedang dirampas oleh tangan-tangan serakah.
“Kami meminta aparat hukum bertindak cepat. Tangkap siapa pun yang terlibat, sebelum semuanya terlambat,” ujarnya tegas.

Sementara itu, Frengky, seorang aktivis lingkungan asal Muratara, telah lama menelusuri jejak para pelaku pembalakan liar. Ia menyebut ada jaringan yang rapi dan terorganisir.
“Di Ulu Rawas ada nama-nama seperti HF dan AR, yang dibekingi oleh oknum aparat hutan berinisial A dan I. Sedangkan di Karang Jaya, ada AR — anak dari HF — yang juga bekerja sama dengan oknum dari UPTD KPH Wilayah XIV Rawas,” ungkapnya dengan wajah muram.

Frengky menuturkan, ia sering menyaksikan sendiri truk-truk bermuatan kayu melintas malam-malam di jalan desa. Tak ada yang berani menegur.
“Kadang kami hanya bisa diam. Hutan itu tumbang, tapi yang menebang bukan orang miskin, melainkan mereka yang punya kuasa,” katanya lirih.

Wildan Hakim, SH, pemerhati hukum lingkungan, menjelaskan bahwa keterlibatan aparat negara dalam praktik ini merupakan pelanggaran berat.
“Kalau aparat ikut membekingi aktivitas ilegal, itu bukan sekadar pelanggaran etika, tapi kejahatan terhadap negara dan lingkungan hidup,” tegasnya.

Wildan menambahkan, para pelaku dapat dijerat dengan UU Kehutanan, UU Konservasi Sumber Daya Alam, UU P3H, dan UU Tipikor, serta pasal-pasal dalam KUHP.
“Perusakan hutan bukan hanya soal kayu yang hilang, tapi juga tentang nyawa manusia yang tergantung pada oksigen dan air dari hutan itu,” ujarnya.

Kini, suara hutan Muratara seolah menjerit dalam diam.
Air sungai mulai keruh, satwa langka menghilang, dan tanah yang dulu subur mulai gersang.

Para pegiat lingkungan berharap, pemerintah dan aparat penegak hukum tidak tinggal diam. Karena jika TNKS benar-benar hilang, bukan hanya pohon yang mati — tapi juga harapan generasi masa depan.

 “Hutan itu ibu kita,” ucap Wawan pelan.
“Kalau ibu sudah tak ada, kepada siapa lagi kita pulang?”


---rils 

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama